Klaten –
Desa Sidowarno di Klaten terbelah akibat proyek pelurusan sungai Bengawan Solo. Karena itu, banyak keluarga yang terpisah. Namun kini, desa tersebut tidak lagi kebanjiran.
Pembenahan yang dimulai tahun 1990 menyebabkan desa yang terletak di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten ini dipisahkan oleh alur sungai Bengawan Solo.
Tempat tinggal warga Desa Sidowarno kini terbagi dua. Ada satu di timur dan satu di barat Bengawan Solo. Di atas sungai terpanjang di Pulau Jawa itu dibangun jembatan baja sebagai satu-satunya penghubung, sekaligus jalan antar kabupaten.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Dua kawasan pemukiman Desa Sidowarno dilindungi oleh tanggul sungai dari tanah. Pemukiman di sisi timur sungai lebih dekat ke tanggul daripada di sisi barat sungai.
Tokoh masyarakat Desa Sidowarno, Poniman, menceritakan sejarah tegaknya Bengawan Solo untuk mencegah banjir di Sukoharjo dan Klaten. Khususnya Desa Sidowarno dan sekitarnya.
“Kronologi penjajaran berdasarkan penyebab Desa Sidowarno Raya selalu dilanda banjir, mulai dari utara Desa Serenan, Kecamatan Juwiring, Sidowarno hingga Mancasan, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo. Penjajarannya sekitar tahun 1990-1993,” kata dia. Poniman, Minggu (9/4/2023) lalu.
Menurut Poniman, jalur Bengawan Solo di desanya tidak selurus dulu. Bentuk alur sungai berkelok-kelok dan lebarnya sekitar 50 meter.
“Dulu Bengawan Solo itu seperti isi perut 12 jari, arusnya berputar-putar bolak-balik mulai dari utara Desa Serenan, Kecamatan Juwiring. Dari Dusun Kwogo Kulon, utara Serenan hingga Dusun Butuh, Desa Sidowarno, airnya mungkin cuma 1 jam nyampe tapi setelah dilurusin 5-10 menit baru nyampe,” jelas Poniman.
Akibat alur sungai yang berkelok-kelok, kata Poniman, desanya kerap dilanda banjir. Jika banjir, warga harus menggunakan getek atau sampan bambu untuk beraktivitas.
“Setiap kali hujan, khususnya di Dusun Kwogo Kulon paling parah karena semuanya terendam. Mau kemana-mana pakai getek, jalan dan sawah di desa ini tidak terlihat,” ujarnya.
Mantan Kepala Desa Sidowarno, Rujito, mengatakan dulu desanya seperti tinggal di pulau kecil. Untuk pergi ke mana saja selama banjir, Anda harus pergi dengan getek.
“Kami dikelilingi sungai, sangat jauh. Kami pergi ke mana-mana dengan getek, dulu ketika ada banjir dan hari libur, kami tidak bisa sekolah,” kata Rujito.
Kepala Desa Sidowarno Joko Sumarno mengatakan, sebelum dilakukan penertiban, desanya rutin dilanda banjir. Saat itu, pemerintah melakukan perampingan untuk menangani potensi banjir.
“Untuk menghilangkan banjir, sungai diluruskan. Desa yang semula terbagi dua dibelah barat dan timur oleh sungai Bengawan Solo,” kata Joko.
—–
Artikel ini pernah tayang di detikJateng dan selengkapnya bisa dibaca di sini.
Simak videonya “Cerita Agus yang Menghilang 25 Tahun Karena Takut Disunat, Mau Solo”
[Gambas:Video 20detik]
(www www)