Jakarta –
Di tengah peralihan dari pandemi menjadi endemik COVID-19, muncul virus Marburg yang dikhawatirkan menjadi pandemi berikutnya. Virus tersebut dilaporkan tersebar luas di Afrika dengan tingkat kematian yang sangat tinggi.
Sejauh ini, WHO telah melaporkan 29 kasus virus Marburg di Guinea Khatulistiwa, termasuk 27 kematian. Selain itu, Tanzania juga melaporkan delapan kasus per 22 Maret 2023, lima di antaranya meninggal dunia.
“Konfirmasi kasus-kasus baru ini merupakan sinyal penting untuk memperkuat upaya respons untuk segera menghentikan rantai penularan dan mencegah potensi wabah skala besar dan korban jiwa,” kata Dr Matshidiso Moeti, Direktur Regional WHO untuk Afrika, dikutip dari Daily Mail Inggris.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Virus Marburg Vs COVID-19, Mana yang Lebih Berbahaya?
Ahli Epidemiologi Universitas Griffith mengatakan Dr. Dicky Budiman, MSc, PH bahwa kedua virus ini sama-sama berbahaya. Ini karena virus memiliki RNA (asam ribonukleat) dalam materi genetiknya.
Berbeda dengan virus DNA (deoxyribonucleic acid), virus RNA lebih mudah bermutasi.
“Kedua virus ini adalah virus RNA, artinya potensi mutasinya cenderung membuat RNA lebih cepat daripada DNA,” ujar Dr. Dicky saat dihubungi detik.com, Rabu (29/3/2023).
Namun, virus Marburg tampaknya lebih berbahaya karena belum ada vaksin atau obat yang meredakan gejalanya. Sementara itu, ada vaksin dan obat untuk COVID-19.
“Berbeda dengan Marburg, Marburg adalah virus, belum ada vaksinnya, belum ada obatnya. Jadi ini yang membuat Marburg semakin berbahaya,” ujar Dr. Lemah.
“Sebenarnya kalau dibedakan hampir sama, yang membedakan adalah adanya vaksin dan obat-obatan,” lanjutnya.
Perbedaan antara virus Marburg dan COVID-19
Selain tidak memiliki obat dan vaksin untuk virus Marburg, Dr. Dicky mencatat beberapa perbedaan antara Marburg dan COVID-19, antara lain:
1. Media Transmisi
Kedua virus ini ditularkan melalui kontak dekat antara penderita dan orang sehat. Namun, virus Marburg biasanya ditularkan melalui cairan tubuh seperti darah, urine, muntahan, dan feses. Sedangkan COVID-19 menular melalui droplet (cairan yang dikeluarkan saat bersin, batuk, bahkan berbicara)
2. Asal virus
Virus Marburg pertama kali diidentifikasi pada tahun 1967, ketika 31 orang terinfeksi, tujuh di antaranya meninggal secara bersamaan di kota Marburg dan Frankfurt, Jerman. Dua kasus lainnya terjadi di Serbia.
Wabah itu terkait dengan pekerjaan laboratorium menggunakan monyet hijau Afrika (Cercopithecus aethiops) yang diimpor dari Uganda.
“Setelah dilakukan pengecekan, akhirnya diketahui bahwa ini merupakan virus dari famili Filoviridae. Ini satu famili dengan virus Ebola yang juga termasuk dalam grup tersebut,” jelas Dicky.
Sementara itu, hingga saat ini masih banyak teori mengenai asal usul virus corona atau COVID-19. Baru-baru ini, para ilmuwan menemukan bahwa COVID-19 berasal dari anjing rakun di pasar hewan di Wuhan, China.
3. Gejala yang ditimbulkan
Salah satu ciri virus Filoviridae adalah menyebabkan demam berdarah. Sementara itu, COVID-19 menyebabkan gangguan pada saluran pernafasan.
“Dengan COVID, tidak hanya menghentikan saluran udara, tetapi juga berdampak pada organ vital lainnya,” kata Dicky.
4. Tingkat kematian
Tingkat kematian virus Marburg adalah 24-90 persen. Sementara itu, angka kematian akibat COVID-19 lebih rendah, terutama kurang dari 2 persen. Tingkat kematian yang rendah disebabkan oleh pengembangan vaksin dan pengobatan untuk COVID-19 di seluruh dunia.
5. Masa inkubasi
Masa inkubasi virus Marburg lebih lama, berkisar antara 2-21 hari. Sedangkan masa inkubasi COVID-19 adalah 2-14 hari.
Apakah Virus Marburg Memiliki Potensi Pandemi?
Menurut Dr. Dicky, virus Marburg berpotensi menjadi pandemi. Ia menyebutkan tiga kriteria, antara lain:
1. Orang tidak memiliki kekebalan
Salah satu kriteria suatu penyakit menjadi pandemi adalah orang tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut.
2. Tidak ada vaksin atau obat
Hingga saat ini, belum ada vaksin atau obat untuk virus Marburg. Dengan demikian, kekebalan manusia belum berkembang untuk melawan virus.
3. Mobilitas manusia meningkat
Seiring dengan perkembangan zaman, mobilitas manusia juga semakin meningkat. Kondisi ini memungkinkan penyebaran virus lebih luas.
kata dr. Dicky, kriteria terpenting agar suatu penyakit tidak menjadi pandemi adalah imunitas. Karena itu, dia menyarankan agar penelitian terkait obat dan vaksin diintensifkan.
“Jadi artinya kita harus gencar melakukan penelitian, obat-obatan dan vaksin,” kata Dr. Lemah.
Tonton Video “Kenali Gejala Awal Virus Marburg di Afrika”
[Gambas:Video 20detik]
(hari hari)